Peristiwa Politik dan Ekonomi Pasca Pengakuan
Kedaulatan Di Indonesia
Pada tahun
2004, negara Indonesia mengadakan pemilu yang diikuti oleh 24 partai politik.
Perhatikan gambar di atas! Pemilu di Indonesia dimulai pada tahun 1955 yang
diikuti puluhan partai, organisasi masa, dan perorangan. Masih ingatkah kalian
bahwa setiap kali akan diselenggarakan Pemilihan Umum diadakan kampanye dari
masing- masing partai politik peserta pemilu? Dalam kampanye tersebut
dipaparkan masing- masing program partainya. Hal ini merupakan pendidikan
politik bagi rakyat. Akan tetapi dalam kampanye seringkali ada
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan karena adanya pelanggaran dari aturan
yang dibuat bersama. Rakyat sering menjadi korban dari orang- orang yang tidak
bertanggung jawab ketika adanya arak- arakan kampanye. Walaupun seringkali
memakan korban dari kampanye yang merupakan rentetan dari pemilu, namun
Pemilihan Umum tetap diadakan sebab merupakan syarat sebagai negara yang
menjunjung tinggi demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi mulai
melaksanakan Pemilihan Umum pada tahun 1955. Pemilu I tahun 1955 yang
didambakan rakyat dapat meperbaiki keadaan ternyata hasilnya tidak memenuhi
harapan rakyat. Krisis politik yang berkepanjangan akhirnya Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itulah kehidupan bangsa Indonesia
di bawah kekuasaan Demokrasi Terpimpin. Peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi
Indonesia pasca Pengakuan Kedaulatan tersebut akan kita pelajari dalam bab ini.
A Proses Kembali ke Negara Kesatuan RI (NKRI)
Seperti telah
kalian pelajari pada bab II bahwa dengan melalui perjuangan bersenjata dan
diplomasi akhirnya bangsa Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan dari
Belanda. Penandatanganan pengakuan kedaulatan tersebut dilaksanakan pada
tanggal 27 Desember 1949. Dengan diakuinya kedaulatan Indonesia ini maka bentuk
negara Indonesia adalah menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia
Serikat (RIS). Sedangkan Undang – Undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan
adalah Undang- Undang Dasar RIS. Tentunya kalian masih ingat bahwa salah satu
hasil Konferensi Meja Bundar adalah bahwa Indonesia menjadi Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS). Selanjutnya setelah KMB kemudian dilaksanakan
pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949.
Berdasarkan UUD RIS bentuk negara kita adalah federal, yang terdiri dari tujuh
negara bagian dan sembilan daerah otonom. Adapun tujuh negara bagian RIS
tersebut adalah :
(1) Sumatera Timur,
(2) Sumatera Selatan,
(3) Pasundan,
(4) Jawa Timur,
(5) Madura,
(6) Negara Indonesia Timur, dan
(7) Republik Indonesia (RI).
(1) Sumatera Timur,
(2) Sumatera Selatan,
(3) Pasundan,
(4) Jawa Timur,
(5) Madura,
(6) Negara Indonesia Timur, dan
(7) Republik Indonesia (RI).
Sedangkan
kesembilan daerah otonom itu adalah:
(1) Riau, (6) Banjar,
(2) Bangka, (7) Kalimantan Tenggara,
(3) Belitung, (8) Kalimantan Timur, dan
(4) Kalimantan Barat, (9) Jawa Tengah.
(5) Dayak Besar,
(1) Riau, (6) Banjar,
(2) Bangka, (7) Kalimantan Tenggara,
(3) Belitung, (8) Kalimantan Timur, dan
(4) Kalimantan Barat, (9) Jawa Tengah.
(5) Dayak Besar,
Negara-negara
bagian di atas serta daerah- daerah otonom merupakan negara boneka ( tidak
dapat bergerak sendiri) adalah ciptaan Belanda. Negara- negara boneka ini
dimaksudkan akan dikendalikan Belanda yang bertujuan untuk mengalahkan RI yang
juga ikut di dalamnya. Bentuk negara federalis bukanlah bentuk negara yang
dicita- citakan oleh bangsa Indonesia sebab tidak sesuai dengan cita- cita
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu setelah RIS berusia kira-
kira enam bulan, suara- suara yang menghendaki agar kembali ke bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia semakin menguat. Sebab jiwa Proklamasi 17 Agustus
1945 menghendaki adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia. Hal inilah yang
menjadi alasan bangsa Indonesia untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kedudukan golongan mereka yang setuju dengan bentuk negara
Serikat (golongan federalis) semakin terlihat kejahatannya ketika Sultan Hamid
dari Kalimantan Barat yang menjabat sebagai Menteri Negara bersekongkol dengan
Westerling. Raymond Westerling melakukan aksi pembantaian terhadap ribuan
rakyat di Sulawesi Selatan yang tidak berdosa dengan menggunakan APRAnya.
Petualangan
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada bulan Januari 1950 menjadikan
rakyat semakin tidak puas terhadap kondisi pemerintahan RIS. Oleh karena itu
rakyat Bandung menuntut dibubarkannya pemerintahan negara Pasundan untuk
menggabungkan diri dengan RI. Pada bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan
undang-undang darurat yang isinya pemerintah Pasundan menyerahkan kekuasaannya
pada Komisaris Negara (RIS), Sewaka. Gerakan yang dilakukan di Pasundan ini
kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan dan negara-negara bagian lain.
Negara-negara bagian lain yang menyusul itu cenderung untuk bergabung dengan
RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian saja dalam RIS, yakni
Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI setelah
diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950 Presiden Sukawati dari NIT
mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan RI menjadi negara kesatuan.
Melihat dukungan untuk kembali ke NKRI semakin luas, maka diselenggarakanlah
pertemuan antara Moh. Hatta dari RIS, Sukawati dari Negara Indonesia Timur dan Mansur
dari Negara Sumatera Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah
konferensi antara wakil-wakil RIS yang juga mewakili NIT dan Sumatera Timur
dengan RI di Jakarta. Dalam konferensi ini dicapai kesepakatan untuk kembali ke
Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering disebut dengan Piagam
Persetujuan,
yang isinya sebagai berikut:
1). Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2). Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
1). Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
2). Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai
tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI
tersebut dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang Dasar RIS menjadi Undang-
Undang Dasar Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal
15 Agustus 1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian
sejak saat itulah Negara Kesatuan RI menggunakan UUD Sementara (1950) dan
demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet
Parlementer. Jadi berbeda dengan UUD 1945 yang menggunakan Sistem Kabinet
Presidensiil.
B. Pemilihan Umum I Tahun 1955 di Tingkat Pusat dan Daerah
Semenjak
Indonesia menggunakan sistem Kabinet Parlementer keadaan politik tidak stabil.
Partai-partai politik tidak bekerja untuk kepentingan rakyat akan tetapi hanya
untuk kepentingan golongannya saja. Wakil-wakil rakyat yang duduk di Parlemen
merupakan wakil-wakil partai yang saling bertentangan. Keadaan yang demikian
rakyat menginginkan segera dilaksanakan pemilihan umum. Dengan pemilihan umum
diharapkan dapat terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga dapat
memperjuangkan aspirasi rakyat sehingga terbentuk pemerintahan yang stabil.
Pemilihan Umum merupakan program pemerintah dari setiap kabinet, misalnya
kabinet Alisastroamijoyo I bahkan telah menetapkan tanggal pelaksanaan pemilu.
Akan tetapi Kabinet Ali I tersebut sudah jatuh sebelum melaksanakan Pemilihan
Umum. Akhirnya pesta demokrasi rakyat tersebut baru dapat dilaksanakan pada
masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan Panitia Pemilihan Umum Pusat
dilaksanakan dalam dua gelombang, yakni :
1. gelombang I, tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
2. gelombang II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota- anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang- Undang Dasar).
1. gelombang I, tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
2. gelombang II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota- anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang- Undang Dasar).
Suatu pesta
demokrasi nasional pertama kali yang diadakan sejak Indonesia merdeka itu
dilakukan oleh lebih dari 39 juta rakyat Indonesia. Mereka mendatangi
tempat-tempat pemungutan suara guna menyalurkan haknya sebagai pemilih. Dalam
pelaksanakannya, Indonesia dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208
kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dalam Pemilihan Umum tersebut
diikuti oleh banyak partai politik, organisasi, dan perorangan pun juga ikut,
sehingga DPR terbagi dalam banyak fraksi di antaranya keluar sebagai empat
besar adalah : (1) Fraksi Masyumi (60 anggota); (2) Fraksi PNI (58 anggota);
(3) Fraksi NU (47 anggota); (4) Fraksi PKI (32 anggota). Seluruh anggota DPR
hasil Pemilu I tersebut berjumlah 272 anggota, yaitu dengan perhitungan bahwa
seorang anggota DPR mewakili 300.000 orang penduduk. Sedangkan anggota
Konstituante berjumlah 542 orang. Pada tanggal 25 Maret 1956 DPR hasil
pemilihan umum dilatik. Sedangkan anggota konstituante dilantik pada tanggal 10
November 1956. Pemilihan Umum I tahun 1955 berjalan secara demokratis, aman,
dan tertib sehingga merupakan suatu prestasi yang luar biasa di mana rakyat
telah dapat menyalurkan haknya tanpa adanya paksaan dan ancaman. Walaupun
Pemilu berjalan sukses akan tetapi hasil dari Pemilu tersebut belum dapat
memenuhi harapan rakyat karena masing- masing partai masih mengutamakan
kepentingan partainya daripada untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu pada
waktu itu masih mengalami krisis politik dan berakibat lahirnya Demokrasi
Terpimpin.
C. Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 dan Pengaruh yang
Ditimbulkannya
Pada Pemilu I
tahun 1955 rakyat selain memilih anggota DPR juga memilih anggota badan
Konstituante. Badan ini bertugas menyusun Undang-Undang Dasar sebab ketika
Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 17
Agustus 1945 menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Sejak itu pula
di negara kita diterapkan Demokrasi Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer.
Pertentangan antarpartai politik seringkali terjadi. Situasi politik dalam
negeri tidak stabil dan di daerah-daerah mengalami kegoncangan karena berdirinya
berbagai dewan, seperti Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Gajah di
Sumatera Utara, Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Garuda di Sumatera
Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi
gerakan yang ingin memisahkan diri.
Karena
keadaan politik yang tidak stabil maka Presiden Soekarno pada tanggal 21
Februari 1957 mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi Presiden”
yang isinya antara lain sebagai berikut.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
Partai-partai
Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI menolak konsepsi ini dan berpenadapat
bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada
konstituante. Karena keadaan politik semakin hangat maka Presiden Soekarno
mengumumkan Keadaan Darurat Perang bagi seluruh wilayah Indonesia.
Gerakan-gerakan di daerah kemudian memuncak dengan pemberontakan PRRI dan
Permesta. Setelah keadaan aman maka Konstituante mulai bersidang untuk menyusun
Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante ini berlangsung sampai beberapa kali
yang memakan waktu kurang lebih tiga tahun, yakni sejak sidang pertama di
Bandung tanggal 10 November 1956 sampai akhir tahun 1958. Akan tetapi sidang
tersebut tidak membuahkan hasil yakni untuk merumuskan Undang-Undang Dasar dan
hanya merupakan perdebatan sengit.
Perdebatan-perdebatan
itu semakin memuncak ketika akan menetapkan dasar negara. Persoalan yang
menjadi penyebabnya adalah adanya dua kelompok yakni kelompok partai-partai
Islam yang menghendaki dasar negara Islam dan kelompok partai-partai non-Islam
yang menghendaki dasar negara Pancasila. Kelompok pendukung Pancasila mempunyai
suara lebih besar daripada golongan Islam akan tetapi belum mencapai mayoritas
2/3 suara untuk mengesahkan suatu keputusan tentang Dasar Negara (pasal 137 UUD
S 1950). Pada tanggal 22 April 1959 di hadapan Konstituante, Presiden Soekarno
berpidato yang isinya menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar
1945. Pihak yang pro dan militer mendesak kepada Presiden Soekarno untuk segera
mengundangkan kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui dekrit. Akhirnya pada
tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno menyampaikan dekrit kepada seluruh rakyat
Indonesia. Adapun isi Dekrit Presiden tersebut adalah:
1) pembubaran
Konstituante,
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka negara kita memiliki kekuatan
hukum untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia dari ancaman perpecahan.
Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka dibentuklah
beberapa lembaga negara yakni: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS),
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR – GR). Dalam pidato Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 17
Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato yang
terkenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL) ini
oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN).
Menurut Presiden Soekarno bahwa inti dari Manipol ini adalah Undang-Undang
Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia. Kelima inti manipol ini sering disingkat USDEK.
Dengan
demikian sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memiliki pengaruh
yang besar dalam kehidupan bernegara ini baik di bidang politik, ekonomi maupun
sosial budaya. Dalam bidang politik, semua lembaga negara harus berintikan
Nasakom yakni ada unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis. Dalam bidang ekonomi
pemerintah menerapkan ekonomi terpimpin, yakni kegiatan ekonomi terutama dalam
bidang impor hanya dikuasai orang- orang yang mempunyai hubungan dekat dengan
pemerintah. Sedangkan dalam bidang sosial budaya, pemerintah melarang
budaya-budaya yang berbau Barat dan dianggap sebagai bentuk penjajahan baru
atau Neo Kolonialis dan imperalisme (Nekolim) sebab dalam hal ini pemerintah
lebih condong ke Blok Timur.
D Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan
Politik Nasional dan Daerah Sampai Awal Tahun 1960-an
Semenjak
diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 sampai tahun 1960 Indonesia
mengalami berbagai situasi sebagai dampak dari keadaan politik nasional.
Beberapa hal yang menjadi persoalan di antaranya adalah hubungan pusatdaerah,
persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik.
1. Hubungan Pusat-Daerah
Setelah
memperoleh pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia
telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955.
Pemilu I yang merupakan pengalaman awal tersebut telah terlaksana dengan lancar
dan aman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya saja hasil dari Pemilu I
tersebut belum dapat merubah nasib bangsa Indonesia ke arah yang lebih
sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan kepentingan partainya.
Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun 1956
berdasarkan perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur panjang
karena mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa
pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Oposisi dari daerah terhadap pemerintah
pusat ini didukung oleh para panglima daerah kemudian dilanjutkan dengan
gerakan- gerakan yang berusaha memisahkan diri (separatis) dari pemerintah
pusat sehingga hubungan antara pusat dengan daerah kurang harmonis. Pada akhir
tahun 1956 beberapa panglima militer di berbagai daerah membentuk dewan-dewan
yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat, yakni sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Terbentuknya
beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah yang guna melakukan protes
terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahan dari pertentangan
antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah ini adalah masalah otonomi serta
perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan
antara Pemerintah Pusat dengan Daerah kurang harmonis. Dalam menghadapi gerakan
yang dilakukan beberapa dewan di atas, pemerintah mengambil beberapa langkah
untuk menyelesaikan masalah antara Pemerintah Pusat dengan daerah-daerah dengan
cara musyawarah. Akan tetapi, usaha- usaha musyawarah yang dilakukan pemerintah
tidak dapat menyelesaikan permasalahan bahkan muncul pemberontakan terbuka pada
bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai Pemberontakan PRRI-Permesta. Jadi
hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis mengakibatkan
munculnya pemberontakan di daerah-daerah sehingga mengganggu stabilitas
politik.
2. Persaingan Golongan Agama dan Nasionalis
Persaingan
antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis/sosialis/non Islam mulai terasa
sejak tahun 1950. Partai- partai politik terpecah- pecah dalam berbagai
ideologi yang sukar dipertemukan dan hanya mementingkan golongannya sendiri.
Pada saat itu kabinet yang berkuasa silih berganti. Dalam waktu singkat saja
dari tahun 1950-1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga
rata-rata tiap tahun berganti kabinet. Kabinet- kabinet tersebut secara
berturut-turut sebagai berikut.
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951)
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada tanggal 20 Maret 1951 Kabinet Natsir bubar sehingga mandatnya diserahkan kepada Presiden Soekarno pada tanggal 21 Maret 1951. Adapun penyebab bubarnya kabinet ini antara lain kegagalan perundingan soal Irian Barat dengan Belanda. Selain itu juga pembentukan DPRD dianggap menguntungkan Masyumi sehingga menimbulkan mosi tidak percaya dari Parlemen.
b. Kabinet Sukiman (tanggal 26 April 1951- Februari 1952)
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
Kabinet ini mulai resmi dipimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Kabinet Sukiman dituduh terlalu condong kepada Amerika Serikat, yakni dengan ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Terhadap masalah ini Masyumi dan PNI mengajukan mosi tidak percaya dan jatuhlah Kabinet Sukiman. Selanjutnya Kabinet Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada bulan Februari 1952.
c. Kabinet Wilopo (April 1952-2 Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Kabinet Wilopo berusaha melaksanakan programnya sebaik-baiknya. Akan tetapi banyak masalah yang dihadapi antara lain timbulnya gerakan separatisme, yakni gerakan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Misalnya di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat dengan alasan karena kekecewaan akibat ketidakseimbangan alokasi keuangan yang diberikan pusat ke daerah. Selain itu juga adanya tuntutan diperluasnya hak otonomi daerah. Kekacauan politik diperparah dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur pada tanggal 16 Maret 1953. Dalam peristiwa ini polisi mengusir para penggarap tanah milik perkebunan. Penduduk yang dihasut oleh kaum komunis menolak pergi dan melawan aparat negara. Akhirnya terjadilah bentrokan antara penduduk dengan polisi. Peristiwa ini memunculkan mosi tidak percaya yang kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 2 Juni 1953.
d. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Kabinet ini terbentuk pada tanggal 31 Juli 1953 yang dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjoyo dari unsur PNI sebagai Perdana Menteri. Walaupun banyak menghadapi kesulitan, kabinet Ali I ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955 Kabinet Ali I jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNIAD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Dengan sistem
kabinet parlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh Perdana
Menteri. Perdana Menteri ini bersama para menteri (kabinet) bertanggungjawab
kepada parlemen. Jadi apabila parlemen tidak menyetujui kebijakan pemerintah
maka dapat menjatuhkannya. Pada waktu itu Parlemen terlalu sering menjatuhkan
kabinet maka pemerintah tidak dapat menjalankan programnya. Persaingan ideologi
juga tampak dalam tubuh konstituante. Konstituante hasil Pemilu I mulai
bersidang pada tanggal 10 November 1956. Pada saat itu negara dalam keadaan
kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. Anggota- anggota Konstituante juga
seperti anggota- anggota DPR, yakni terdiri dari wakil- wakil dari puluhan
partai. Mereka terbagi atas dua kelompok utama yakni kelompok Islam dan
kelompok nasionalis/sosialis/non Islam. Antara dua kelompok tersebut ternyata
tidak pernah tercapai kata sepakat mengenai isi Undang-Undang Dasar. Sidang
Konstituante yang selalu diwarnai dengan perdebatan ini akhirnya mendorong
presiden mengemukakan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian persaingan antara kelompok agama
dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan
politik nasional tidak stabil. Hal tersebut sangat mengganggu jalannya
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
3. Pergolakan Sosial Politik
Pemilihan
Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi terutama di
daerah-daerah. Hal ini menimbulkan protes baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh daerah terhadap pemerintah pusat. Protes tidak langsung pertama
kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan sebagai sasarannya adalah orang
Cina terutama dianggap hanya mencari untung di bumi Indonesia. Sebagai
penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri Kabinet
Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang
didukung oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi protes ini akhirnya
pemerintah menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.
Protes yang
lain juga dilakukan oleh daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan pusat tidak
memperhatikan daerah. Khususnya di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara pemerintah
dianggap membiarkan penyelundupan-penyelundupan yang dilindungi
penguasa-penguasa daerah. Beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi merasa tidak
puas dengan alokasi biaya pembangungan yang diterimanya dari pusat. Selain itu
kelemahan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan politik di daerah-daerah
terbukti tampilnya perebutan kekuasaan di daerah oleh pihak militer. Menurut
pandangan mereka pemerintah pusat tidak cakap dalam memerhatikan kepentingan
daerah, tidak adil dalam pembagian pendapatan ekspor dan terlalu birokratis
dalam menyelesaikan sesuatu urusan, bahkan untuk urusan yang mendesak.
Kelemahan-kelemahan pusat ini nantinya akan berakibat munculnyapemberontakan di
daerah-daerah. Pergolakan di daerah ini diawali dengan adanya gerakan
pengambilalihan kekuasaan oleh Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Achmad Husein di daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada
tanggal 20 Desember 1956. Gerakan ini selanjutnya diikuti oleh terbentuknya
Dewan Gajah, dan Dewan Manguni. Gerakan pengambilalihan kekuasaan ini
selanjutnya pecah menjadi pemberontakan terbuka pada bulan Februari 1958 yang
dikenal dengan pemberontakan “PRRI-Permesta.” Adapun secara singkat terjadinya
pemberontakan-pemberontakan yang merupakan pergolakan sosial politik pasca
pengakuan kedaulatan tersebut sebagai berikut.
a. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Salah satu
isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949 adalah bahwa pembentukan
Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya. Ternyata pembentukan
APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan
politik antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk
negara bagian dengan golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan. Pada
tanggal 23 Januari 1950 di Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin
gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Gerombolan ini memberikan
ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan agar mereka diakui sebagai
“Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk membubarkan negara boneka
tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung gersebut berjumlah kurang
lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL. Dalam serangannya ke kota Bandung,
tentara APRA juga melakukan perampokan-perampokan. Upaya pemerintah RIS untuk
menumpas gerombolan APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan
polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950
pasukan TNI berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling
melarikan diri ke luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan
Laut Belanda.
b. Pemberontakan Andi Azis
Pada tanggal
5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh
kesatuan-kesatuan bekas KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun
berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk
menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di
antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.
c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan
ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang
Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro
Belanda. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr.
Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Untuk menumpas
pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba menyelesaikan secara damai dengan
mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini
tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi
di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950
seluruh Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam
pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika
memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi.
Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso
dan Mayor Abdullah. Setelah kota Ambon jatuh ke tangan pemerintah maka sisa-
sisa pasukan RMS melarikan diri ke hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya
melakukan pengacauan.
d. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
dan Pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Pertentangan
antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi pangkal permasalahan
adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah,
Dewan Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah
menjadi perang terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai
pemberontakan PRRI-Permesta. Pada tanggal 10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad
Husein mengultimatum kepada pemerintah pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam
seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan diri. Pemerintah mengambil sikap
tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut. Perwira-perwira yang duduk di
dewan-dewan itu dipecat. Mereka itu adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein (Ketua
Dewan Banteng dari Padang, Sumatera Barat) Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel
Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek. Pada tanggal 15 Februari 1958
pemberontakan mencapai puncaknya ketika Achmad Husein memproklamirkan
berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) berikut
pembentukan kabinetnya dan Syafruddin Prawira negara sebagai Perdana Menteri.
Berdirinya PRRI ini selanjutnya mendapat sambutan di Indonesia bagian Timur
yang merupakan gerakan separatis.
Pada tanggal
1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima TT VII Timur
mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini menuntut
dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara adil, yakni
daerah surplus mendapat 70 % dari hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang
mendukung Permesta ini antara lain Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, dan Letnan
Kolonel Saleh Lahade. Gerakan Permesta ini dapat menguasai daerah Sumatera
Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga mendapat bantuan dari seorang
penerbang sewaan berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence Pope. Untuk
menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini pemerintah
mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata. Berbagai operasi yang
dilaksanakan antara lain:
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
1) Operasi Tegas di bawah pimpinan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau,
2) Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani untuk mengamankan daerah Sumatera Barat,
3) Operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk mengamankan daerah Sumatera Utara, dan
4) Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan.
Dengan
berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29
Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya.
Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur
dilancarkan operasi gabungan, yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel
Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal 18 Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope
ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus 1958 gerakan Permesta dapat
ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun 1961 namun atas
seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur memenuhi
himbauan pemerintah Indonesia. Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas
sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis.
Dengan demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an
tidak stabil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar