1. Kondisi Politik
Setelah memeproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kondisi politik dan keamanan dalm negeri Indonesia masih rawan dan sangat labil. Pengambilan kekuasaan dari tangan tangan Jepang sering menimbulkan bentrokan bersenjata. Situasi ini bertambah parah setelah kedatangan pasukan Sekutu (AFNEI) yang diboncengi tentara NICA (Belanda). Sementara itu, dalam sistem pemerintah dalam negeri mulai berkembang ke arah penyimpangan UUD 1945. hal ini diawali dengan kemenangan kelompok sosialis yang dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin yang berhasil memebentuk “ Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP).
2. Kondisi Ekonomi
Kondisi perekonomian Indonesia pada awal kemerdekaan sangat parah, untuk mengatasi keadaan ekonomi yang tidak menentu tersebut, pemerintah mengambil kebijaksanaan salah satunya ialah dengan menyelenggarakan konferensi ekonomi dan berhasil menghapus sistem autarki lokal warisan Jepang, kemudian menggantinya dengan sistem sentralisasi.
3. Kondisi Sosial Budaya
sesudah proklamasi kemerdekaan, terjadi perubahan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Semula rakyat Indonesia adalah masyarakat kolonial dengan diskriminasi ras sebagai ciri pokoknya. Kemerdekaan telah berhasil menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap seluruh warga negara Indonesia. Pemerintah RI menghapus semua perbedaan perlakuan berdasarkan ras (warna kulit), keturuna, agama dan kepercayaan yang dianut warganya.
Setelah memeproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kondisi politik dan keamanan dalm negeri Indonesia masih rawan dan sangat labil. Pengambilan kekuasaan dari tangan tangan Jepang sering menimbulkan bentrokan bersenjata. Situasi ini bertambah parah setelah kedatangan pasukan Sekutu (AFNEI) yang diboncengi tentara NICA (Belanda). Sementara itu, dalam sistem pemerintah dalam negeri mulai berkembang ke arah penyimpangan UUD 1945. hal ini diawali dengan kemenangan kelompok sosialis yang dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin yang berhasil memebentuk “ Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP).
2. Kondisi Ekonomi
Kondisi perekonomian Indonesia pada awal kemerdekaan sangat parah, untuk mengatasi keadaan ekonomi yang tidak menentu tersebut, pemerintah mengambil kebijaksanaan salah satunya ialah dengan menyelenggarakan konferensi ekonomi dan berhasil menghapus sistem autarki lokal warisan Jepang, kemudian menggantinya dengan sistem sentralisasi.
3. Kondisi Sosial Budaya
sesudah proklamasi kemerdekaan, terjadi perubahan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Semula rakyat Indonesia adalah masyarakat kolonial dengan diskriminasi ras sebagai ciri pokoknya. Kemerdekaan telah berhasil menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap seluruh warga negara Indonesia. Pemerintah RI menghapus semua perbedaan perlakuan berdasarkan ras (warna kulit), keturuna, agama dan kepercayaan yang dianut warganya.
Sejarah Singkat Boedi Oetomo
Bangsa Indonesia, yang dijajah oleh Belanda,
hidup dalam penderitaan dan kebodohan selama ratusan tahun. Bahkan tingkat
kecerdasan rakyat, sangat rendah. Hal ini adalah pengaruh sistem kolonialisme
yang berusaha untuk “membodohi” dan “membodohkan” bangsa jajahannya.
Politik ini jelas terlihat pada gambaran
berikut:
1.
Pengajaran sangat kurang, bahkan setelah
menjajah selama 250 tahun tepatnya pada 1850 Belanda mulai memberikan anggaran
untuk anak-anak Indonesia, itupun sangat kecil.
2.
Pendidikan yang disediakan tidak banyak,
bahkan pengajaran tersebut hanya ditujukan untuk menciptakan tenaga yang bisa
baca tulis dan untuk keperluan perusahaan saja.
Keadaan yang sangat buruk ini membuat dr.
Wahidin Soedirohoesodo yang mula-mula berjuang melalui surat kabar
Retnodhumilah, menyerukan pada golongan priyayi Bumiputera untuk membentuk dana
pendidikan. Namun usaha tersebut belum membuahkan hasil, sehingga dr. Wahidin
Soedirohoesodo harus terjung ke lapangan dengan berceramah langsung.
Berdirinya Boedi Oetomo
Dengan R. Soetomo sebagai motor, timbul niat
di kalangan pelajar STOVIA di Jakarta untuk mendirikan perhimpunan di kalangan
para pelajar guna menambah pesatnya usaha mengejar ketertinggalan bangsa.
Langkah pertama yang dilakukan Soetomo dan
beberapa temannya ialah mengirimkan surat-surat untuk mencari hubungan dengan
murid-murid di kota-kota lain di luar Jakarta, misalnya: Bogor, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, dan Magelang.
Pada hari Sabtu tanggal 20 Mei 1908 pukul 9
pagi, Soetomo dan kawan-kawannya: M. Soeradji, M. Muhammad saleh, M. Soewarno,
M. Goenawan, Soewarno, R.M. Goembrek, dan R. Angka berkumpul dalam ruang kuliah
anatomi. Setelah segala sesuatunya dibicarakan masak-masak, mereka sepakat memilih
“Boedi Oetomo” menjadi nama perkumpulan yang baru saja mereka resmikan
berdirinya.
“Boedi” artinya perangai atau tabiat
sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Boedi Oetomo yang dimaksud oleh
pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan atas
keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat, kemahirannya.
Kongres Pertama Boedi Oetomo (3 Oktober – 5
Oktober 1908)
Kongres ini diadakan di Kweekschool atau
Sekolah Guru Atas Yogyakarta (Sekarang SMA 11 Yogyakarta) dengan pembicara:
1.
R. Soetomo (STOVIA Weltevreden)
2.
R. Saroso (Kweekschool Yogyakarta)
3.
R. Kamargo (Hoofd der School Magelang)
4.
Dr. MM. Mangoenhoesodo (Surakarta)
5.
M. Goenawan Mangoenkoesoemo
Setelah berlangsung selama tiga hari, kongres
yang dipimpin oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo mengesahkan Anggaran Dasar Boedi
Oetomo yang pada pokoknya menetapkan tujuan perhimpunan sebagai berikut:
Kemajuan yang selaras (harmonis) buat negara
dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan
dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu pengetahuan).
Beberapa prestasi yang diraih oleh Boedi
Oetomo diantaranya: penerbitan majalah “Guru Desa”, perubahan pelajaraan Bahasa
Belanda di Sekolah Dasar yang semula hanya diajarkan di kelas tiga ke atas
berubah menjadi mulai kelas satu, serta mendirikan surat kabar resmi Boedi
Oetomo berbahasa Belanda, Melayu, dan Jawa.
Boedi Oetomo telah memberikan teladan dengan
berdiri di barisan terdepan membawa panji-panji kesadaran, menggugah semangat
persatuan, adalah suatu kenyataan yang tidak boleh dikesampingkan.
MENGGUGAT HARI KEBANGKITAN NASIONAL
SAYA diundang oleh rekan saya Kepala
Museum Kebangkitan Nasional, Edy Suwardi menghadiri seminar menyambut Hari
Kebangitan Nasional, Kamis, 16 Juni 2010, di Jakarta. Seminar yang
diselenggarakan sangat menarik karena kehadiran Prof Ahmad Mansur Suryanegara,
pakar Sejarah Islam dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Di samping itu ada
pula Asvi Warman Adam, Sejarawan dari LIPI.
Berpenampilan bersahaja, pakaian dan rambut
rapi, warna rambut sudah memutih, maklumlah sudah berusia 74 tahun, Ahmad
Mansur Suryanegara meragukan Hari Kebangkitan Nasional dikaitkan dengan Sejarah
Budi Utomo 20 Mei 1908. Menurut Ahmad Mansur Suyanegara, Gerakan Budi Otomo
adalah gerakan lokal, hanya diperuntukkan untuk suku Jawa, apakah harus
dikatakan sebagai kebangkitan nasional? Bahkan suku lain tidak diizinkan masuk
ke dalam gerakan tersebut. “Saya ingin kita mengevaluasi Hari Kebangkitan
Nasional tersebut,” tegas Ahmad Mansur
Sebagai pakar Sejarah Islam, Ahmad Mansur
Suryanegara juga menyinggung keberadaan suku Minangkabau yang dikatakannya
sebagai penggerak aliran komunis di Indonesia. Disebutkannya beberapa nama,
seperti Tan Malaka. “Namun demikian,”ujarnya lagi “banyak juga Suku Minangkabau
menjadi pemuka Agama Islam, seperti Hamka,” tambahnya.
Saya pribadi menyambut baik gagasan Ahmad
Mansur Suryanegara ini sebagaimana pendapat Asvi Warman Adam yang juga
mengatakan jika menulis G.30.S tanpa PKI. Menurut saya ini merupakan
sumber-sumber yang mengajak bangsa ini lebih kritis melihat suatu permasalahan,
sekaligus mengajak untuk menelusuri lebih jauh sejarah bangsa, tidak sekedar
meng “Iya” kan atau sebaliknya. Sudah saatnya para sejarawan menggali hal-hal
atau penemuan-penemuan baru yang jika keliru bisa diperdebatkan lagi, sehingga
kita tidak terpaku kepada pendapat para ahli dari luar negeri semata-mata.
Tidaklah mungkin kita percaya seratus persen dengan pendapat para ahli luar
negeri yang sedang mengkaji masalah bangsa Indonesia, di bandingkan dengan para
ahli dari dalam negeri sendiri yang adalah bangsa Indonesia sendiri.
Ya, pada saatnya pula kita harus berbicara
mengenai keterbatasan Saya ingin menggaris bawahi mengenai suku Minangkabau
yang juga dikategorikan sebagai pemberontak dan disebut pula oleh Ahmad Mansur
Suryanegara, yaitu Ahmad Husein, Pemimpin PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia). Hal ini saya bantah, karena sebelum meninggalnya, saya dua
kali bertemu Ahmad Husein. Dia mengatakan, bahwa PRRI adalah pemberontak, itu
tidak benar. “Kami bukan pemberontak,”ujarnya. “Kami hanya melakukan koreksi
total kesenjangan antara pemeintah pusat dan daerah, selain mengingatkan
Presiden Soekarno tidak terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia,” tegas
Ahmad Husein yang waktu itu sudah sakit-sakitan di kursi rodanya.
Kembali mengenai keterbatasan ini, saya ingin
mengutip pernyataan Dr.Alfian (alm), salah seorang sejarawan Indonesia yang
terkenal pada masanya. Di dalam sebuah pengantar buku:”Meluruskan Sejarah karya
B.M.Diah,” Alfian mengatakan bahwa sesuai dengan tuntutan profesi keilmuannya,
para ahli sejarah tentu berusajha keras untuk bersikap obyektif dalam menulis
karyanya. Sungguh pun begitu, ujarnya, jauh di lubuk hati dan alam pikirannya,
mereka mengetahui betul bahwa mustahil bagi siapa saja, betapa pun pintar dan
ahlinya, untuk menghasilkan tulisan sejarah yang dapat dikatakan betul-betul
obyektif dan sempurna. Sebuah tulisan sejarah memang dapat dikatakan, ditinjau
dari segi mutu dan sebagainya, lebih obyektif dan lebih sempurna dari
karya-karya lainnya. Tetapi tulisan tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang final atau sebuah karya tanpa kelemahan dan kekurangan sama
sekali. Di samping banyak tulisan sejarah yang buruk dan tidak bermutu,
biasanya ada sejumlah karya yang dinilai baik dan berkualitas tinggi.
Bagaimana pun juga, tegas Alfian, para ahli
sejarah sendirilah yang pertama-tama mengakui bahwa tidak ada tulisan sejarah
yang betul-betul sempurna, dan juga betul-betul lurus.
“Itulah antara lain sebabnya mengapa sejarah
merupakan salah satu bidang studi yang bagaikan sumur penelitian yang tak
pernah kering atau lahan pengkajian yang tak pernah habis. Dari waktu ke waktu,
dari generasi ke generasi, berbagai ahli datang menimba atau menggarapnya, dan
dari situ lahir karya-karya sejarah baru memperkaya khasanah yang sudah ada
yang terus membesar,” jelas Alfian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar