Masyarakat Majemuk Indonesia
John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.[1]
Studi Furnivall saat itu dikhususkan pada masyarakat yang mengalami tindak kolonial barat seperti Burma, India, ataupun Indonesia. Mengenai fakta plural society ini, Furnivall menulis dalam salah satu studinya mengenai Burma:
In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is the medley of peoples ---European, Chinese, Indian, and native. It is in the strictest sense a medley, for they mix but do not combine. Each group holds by its own religion, its own culture and language, its own ideas and ways. As individuals they meet, but only in the market-place, in buying and selling. There is a plural society, with different sections of the community living side by side but separately, within the same political unit. Even in the economic sphere there is a division of labour along racial lines.[2]
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikator-indikator genetik-sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah. Kemajemukan sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga, ataupun power. Skema dalam Gambar 12 dapat digunakan untuk mempermudah peta pembicaraan masyarakat majemuk.[3]
Di dalam kenyataan, kedua variabel kerap berhimpitan sehingga menambah kompleksitas masalah. Dalam masyarakat India misalnya, kemajemukan budaya terbentuk dari anutan penduduk atas sejumlah agama besar yaitu Hindu, Islam, Kristen, dan Sikh. Kendati kini mulai memudar, dalam masyarakat Hindu, berlaku kasta dan ini merupakan konsekuensi logis dari ajaran agama. Di dalam masyarakat yang menganut agama Islam, kasta tidak berlaku dan situasi masyarakat lebih egaliter. Kemajemukan budaya tersebut merambah pada kemajemukan sosial. Kasta di dalam masyarakat Hindu menciptakan kelas-kelas dan status-status sosial, sementara pelapisan kelas dan status tersebut berjalan secara berbeda di dalam masyarakat India yang Islam. Terjadi perbedaan penafsiran tajam antara kedua elemen masyarakat India tersebut. Masing-masing masyarakat memerlukan space atau wilayah untuk mengimplementasikan keyakinan budaya dan sosial yang berbeda. Friksi tajam ini berkulminasi dalam pemisahanan India (Hindu), Pakistan (Islam, di barat India), dan Bangladesh (Islam, di timur India) sejak 1948 lewat fasilitasi Inggris.
Pengamatannya atas Burma yang ia samakan dengan Jawa, Furnivall menyatakan masyarakat majemuk terpisah menurut garis budaya yang spesifik, di mana kelompok-kelompok di dalam unit politik menganut budaya yang berbeda. Kelompok yang satu berbaur dengan kelompok lainnya tetapi masing-masing tidak saling mengkombinasikan budayanya. Kelompok-kelompok masyarakat berbeda tersebut saling bertemu dalam kegiatan sehari-hari (semisal di pasar), tetapi masing-masing mempraktekkan budayanya masing-masing. Di pasar-pasar tradisional, para pedagang berasal dari etnis berbeda, sehingga kerap memperdengarkan percakapan dalam aneka bahasa: Jawa, Batak, Padang, Madura, Sunda, dan lain-lain. Pedagang pun terkotak berdasarkan komoditas yang didagangkan misalnya pedagang Minang di bagian pakaian, pedagang Batak di kelontong/grosir, pedagang Jawa di sayur-mayur dan bahan mentah, pedagang Madura di lapak ikan, pedagang Banten di los daging, dan seterusnya.
Parsudi Suparlan memberi catatan tentang masyarakat majemuk ini. Dalam tulisannya Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, Suparlan menulis:
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri.
Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai simbol-simbol yang digunakan [...] dia akan diidentifikasi sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut tidak dapat dipergunakan [...] maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya [...][4]
---------------> gambar peta masyarakat majemuk <-------------------------
Lebih lanjut Suparlan menyatakan:
Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional [...]
Dalam masyarakat majemuk Hindia Belanda, tidak ada tatanan demokrasi. Dalam tatanan itu, dengan jelas dibedakan antara tuan yang penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan dan hamba dilakukan berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan, keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.[5]
Faktor suku (juga agama) menjadi perhatian serius bagi negara yang terbangun lewat gejala masyarakat majemuk. Faktor etnis dan agama menjadi persoalan sensitif yang mampu memicu kekerasan dan konflik, seperti kerap terjadi di Indonesia. Ini akibat proses integrasi nasional yang belum selesai. Integrasi semu sempat terjadi di Indonesia selama Orde Baru, di mana Soeharto berupaya mensubordinasi tiap-tiap budaya etnis ke bawah jargon budaya nasional. Ia mengembangkan tabu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sebagai terlarang untuk dipertentangkan di muka publik. Kemayaan ini tampak jelas setelah Soeharto turun dari kekuasaan, konflik-konflik berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan jadi meruyak.
Memang selama pemerintahan Soeharto kondisi terkesan harmonis meskipun sekadar berupa api dalam sekam. Kondisi harmonis karena negara sangat strong dengan alat pengaman negara (militer, intelijen) yang padu. Terbukti, saat politik kekuasaan Soeharto melemah, banyak konflik yang dilatari etnis, agama, ras, dan antargolongan justru terjadi dengan mudahnya, bahkan berlarut-larut. Malah setelah terpojok Soeharto justru menggunakan tabu SARA-nya sendiri untuk membangun kuda-kuda politik barunya di era 1990-an: Merangkul kalangan Islam modernis dan merenggangkan jarak dengan kelompok nasionalis dan non Muslim yang selama ini menjadi sekutu dekatnya.
Mengenai hubungan antarkelompok dalam masyarakat majemuk, Leo Kuper memberi catatan berikut: [6]
- Societies composed of status groups or estates that are phenotypically distinguished, have different positions in the economic order and are differentially incorporated into the political structure, are to be called plural societies and distinguished from class societies. In plural societies political relations influence relations to the means of production more than any influence int the reverse direction.
- When conflicts develop in plural societyes ther follow the lines of racial cleavage more closely tahan those of class.
- Racial categories in plural societies are historically conditioned; they are shaped by inter-group competition and conflict.
Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.[7] Hal yang menarik kemudian dinyatakan Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar dari masyarakat majemuk ini, yaitu: [8]
- Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain;
- Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer;
- Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;
- Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
- Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta
- Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Melalui paparan di atas, diketahui bahwa teori masyarakat majemuk (plural society) awalnya lahir dari pengamatan J.S. Furnivall atas negara-negara kolonial dan postcolonial. Di negara-negara tersebut, masyarakat terkotak ke dalam sekat-sekat asal usul (suku, ras, agama, golongan) di mana satu suku atau agama mendominasi lainnya. Masyarakat tersebut dipaksa untuk bersatu oleh sebuah kuasa kolonial. Namun, kendati disatukan mereka dipecah di dalamnya agar tidak bersatu. Mereka disatukan hanya agar mudah dieksploitasi. Masyarakat majemuk mudah terbelah akibat tiadanya common will (kehendak bersama). Akibatnya, individu dalam masyarakat hanya loyal kepada kelompok basis primordial mereka. Common will yang bersifat nasional kendatipun ada hanyalah sebatas jargon. Ini merupakan hasil sukses politik Divide et Impera kaum kolonial. Kondisi masyarakat majemuk, bagi Sammy Shooha, [...] created by Western imperialism, and maintained through political coercion for economic exploitation of nonwhite populations. They consist of a medley of peoples who share little more than the imposed economy and policy.[9]
Konflik-konflik akibat struktur masyarakat majemuk juga terjadi antara masyarakat eks penjajahan bangsa-bangsa barat yang secara tajam dipisahkan kemajemukan seperti Hindu dan Muslim di India (diikuti pemisahan Pakistan), Burma (etnis Karen), Aljazair (masalah agama, bahasa Berber, Arab, Perancis), Zanzibar (etnis Watumbatu, Wahadimu, dan Wapemba), Rwanda (Hutu dan Tutsi), Burundi (Hutu dan Tutsi), Kongo (Hutu dan Tutsi), Angola (Ambundu, Bakongo, dan Ovimbundu), Mozambik (Frelimo, Renamo), Afrika Selatan (warisan Aparteid), Nigeria (suku Ibo versus Hausa versus Yoruba), Uganda (Acholi dan Baganda), Sudan (Arab dan nonarab), Ethiopia (Ethiopia dan Eritrea), Siprus (Yunani dan Turki), Irlandia Utara (Protestan dan Katolik), Israel (Palestina-Yahudi, Yahudi Relijius-Yahudi Sekuler, Yahudi Oriental-Yahudi Ashkenazi), Vietnam, Bangladesh, Lebanon (Kristen Maronit versus Kristen Druze versus Islam Sunni versus Islam Syiah), Malaysia (India versus Cina versus Melayu), Srilangka (etnis Sinhala versus Tamil), dan Indonesia (lewat serangkaian kerusuhan bermuatan etnis dan agama di Sampit, Poso, dan Ambon).
Sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisasi Belanda, Indonesia menderita ekses negatif masyarakat majemuk. Selama penjajahan, masyarakat dibelah berdasarkan unsur primordial suku, agama, ras dan golongan. Pembelahan dilakukan secara sistematis, terstruktur, menggunakan agen-agen khusus Belanda seperti Hendrikus Colijn. Pembelahan terus bertahan bahkan hingga pasca Indonesia merdeka. Isu-isu Islam versus Non Islam, Jawa versus Luar Jawa, Luar versus Pribumi, masih laku sebagai komoditas politik maupun amunisi pemicu konflik kekerasan. Terlebih, Pancasila sebagai konsensus nasional mulai dianggap sepi masing-masing komunitas politik dan budaya Indonesia. Ruang kosong ideologi semakin memperlemah kohesi masyarakat multikultur Indonesia.
Simbol, bahasa, nilai, dan norma nasional kendati ada – penggunaan bahasa Indonesia, simbol negara seperti bendera dan lagu kebangsaan, nilai seperti Pancasila, dan norma seperti aturan hukum dan perundang-undangan – belum sepenuhnya mampu memadamkan kekuatan politik etnis dan sektarian. Pertikaian sepanjang garis etnis, agama, dan golongan mewarnai peta kehidupan bermasyarakat dan bernegara Indonesia.
Sulit diprediksi apakah Indonesia masih relevan untuk disebut masyarakat majemuk atau tidak, tetapi fakta menunjukkan jawabannya adalah ya. Namun, jika pertanyaan susulan diajukan adalah apakah paham kemajemukan dapat disaingi maka jawabannya adalah ya. Persoalan mendesak adalah bagaimana membelokkan dominasi paradigma masyarakat majemuk menjadi paradigma lain yang lebih toleran dan mungkin menciptakan integrasi nasional yang lebih baik bagi Indonesia. Seperti Indonesia yang awalnya sebuah gagasan, masyarakat multikultural juga sebuah gagasan, layaknya masyarakat majemuk. Sebagai gagasan, paradigma multikultural sesungguhnya dapat diupayakan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar